Beranda | Artikel
Aqidah Al-Wala wal Bara, Aqidah Asing yang Dianggap Usang (Bag. 7)
Selasa, 6 November 2018

Baca pembahasan sebelumnya Aqidah Al-Wala’ wal Bara’, Aqidah Asing yang Dianggap Usang (Bag. 6)

Perkara yang Hukumnya Mubah atau Dianjurkan ketika Berinteraksi dengan Orang Kafir

Pertama, boleh mempekerjakan mereka atau menyewa jasa mereka dalam pekerjaan-pekerjaan yang tidak menyebabkan penguasaan mereka atas kaum muslimin. Misalnya, boleh mempekerjakan mereka sebagai karyawan pabrik, tukang bangunan, atau sebagai pembantu.

Dalil dalam masalah ini adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyewa jasa ‘Abdullah bin Uraiqith ketika hijrah karena dia sangat paham seluk beluk jalan (HR. Bukhari no. 2263). Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan orang Yahudi Khaibar untuk menanami kebun Nabi di daerah Khaibar setelah ditaklukkan. Bagi hasil untuk mereka adalah setengah dari hasil panen (HR. Bukhari no. 148). Selain itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah memiliki pelayan seorang pemuda Yahudi (HR. Bukhari no. 5657).

Adapun mengangkat mereka sebagai pegawai yang menyebabkan mereka berkuasa atas kaum muslimin dan mengetahui detail kondisi dan rahasia kaum muslimin, maka hal ini tidak boleh dan termasuk dalam wala’ yang diharamkan. Misalnya, mengangkat mereka sebagai sekretaris gubernur atau pemimpin daerah, sebagaimana yang telah kami uraikan di seri sebelumnya.

Ke dua, dianjurkan untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang membutuhkan, misalnya memberikan sedekah sunnah kepada orang-orang miskin di antara mereka, atau memberikan pertolongan kepada orang kafir yang sedang sakit. Adapun sedekah yang wajib, misalnya zakat mal atau zakat fitri, maka tidak boleh diberikan kepada orang kafir, kecuali orang kafir yang ingin diambil hatinya (sebagaimana nanti akan disebutkan).

Hal ini berdasarkan keumuman makna firman Allah Ta’ala,

وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Berbuat baiklah kalian, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah [2]: 195)

Dan juga termasuk dalam cakupan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

“Menolong semua makhluk bernyawa itu berpahala.” (HR. Bukhari no. 2363 dan Muslim no. 2244)

Berbuat baik kepada mereka dengan menunjukkan akhlak-akhlak yang mulia, bisa menjadi sebab masuknya mereka ke dalam Islam. Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu Ta’ala,

“Aku pernah berjumpa dengan seseorang dari India, yang masuk melalui perantaraannya lebih dari seribu orang beragama Hindu. Mereka semuanya masuk Islam satu per satu, artinya beliau tidaklah mendakwahi dua orang sekaligus, akan tetapi didakwahi satu-satu. Metode dakwah beliau adalah beliau memiliki penguasaan yang baik terhadap sisi-sisi kebaikan agama Islam ini, adab-adabnya dan kesempurnaannya.

BacaJuga: Mengenal Pokok-Pokok Aqidah Kaum Khawarij

Jika beliau menemui orang Hindu tersebut, dan biasanya beliau memilih orang-orang yang sedang sedih (galau) berkaitan dengan perkara yang telah, sedang atau akan terjadi, atau orang-orang yang beliau lihat sedang mendapatkan masalah tertentu, dan sedang duduk sendirian. Beliau pun duduk bersama mereka, menanyakan kondisinya, dan menanyakan masalah yang sedang dihadapi. Di sela-sela itu, beliau pun menyebutkan sisi-sisi keindahan agama Islam ini.

Dia berkata kepadaku, ‘Sesungguhnya mayoritas dari mereka itu cukup diajak bicara seperempat jam, atau maksimal setengah jam, aku sebutkan kepadanya sebagian keindahan agama Islam ini. Lalu mereka pun bertanya, bagaimanakah cara masuk Islam? Bagaimana jalan untuk menjadi bagian dari kaum muslimin? Lalu aku pun tawarkan mereka agar masuk Islam dan mereka pun masuk Islam.’” (Huquuq kibaaris sinni fil Islaam, hal. 10)

Ke tiga, dianjurkan untuk tetap menjalin hubungan kekerabatan dengan keluarga yang masih kafir, seperti orang tua dan saudara kandung, dalam bentuk mengunjungi mereka dan memberikan hadiah untuk mereka. Yang tidak diperbolehkan adalah menjadikan mereka sebagai teman atau sahabat akrab, karena ini termasuk wala’ yang terlarang (lihat pembahasan tentang bentuk-bentuk loyalitas kepada orang kafir yang terlarang). Lebih-lebih jika dikhawatirkan bahwa hal itu akan berpengaruh buruk terhadap agama si muslim.

Allah Ta’ala berfirman,

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya.” (QS. Al-Isra’ [17]: 26)

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ

“Dan jika keduanya (ibu dan ayah) memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (QS. Luqman [31]: 15)

Ke empat, diperbolehkan untuk berbuat baik kepada mereka, misalnya dengan memberikan hadiah kepada mereka (meskipun bukan kerabat), untuk memotivasi mereka agar masuk Islam; atau pada saat mendakwahi mereka; atau untuk menghindari keburukan-keburukan mereka (misalnya, orang kafir tersebut adalah preman yang suka mengganggu); atau sebagai balasan karena mereka mau berdamai dan tidak mengganggu kaum muslimin, agar mereka terus-menerus seperti itu.

Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8)

Adapun jika pemberian hadiah itu dalam rangka menjalin persahabatan, atau karena rasa cinta atau karena ingin mencari perhatian dan cinta mereka, maka hal ini tidak diperbolekan.

Baca Juga: Aqidah Ruh Perjuangan Kita

Ulama besar Malikiyyah, Al-Qarafi Al-Maliki rahimahullahu Ta’ala berkata,

“Adapun yang diperintahkan atas kita untuk berbuat baik kepada orang kafir tanpa menunjukkan rasa cinta dalam hati, di antaranya adalah: bersikap lemah lembut dengan orang-orang kafir yang lemah; memenuhi kebutuhan orang kafir yang miskin (dengan sedekah); memberi makan orang kafir yang kelaparan; memberi pakaian orang kafir yang tidak memiliki pakaian; bersikap lembut dalam berbicara, karena belas kasihan kepada mereka, bukan lembut karena takut dan merendahkan diri; bersabar atas gangguan mereka dalam bertetangga dengan tetap berusaha menghilangkan gangguan tersebut dengan lemah lembut, tanpa disertai rasa takut dan mengagungkan mereka; mendoakan mereka agar mendapatkan hidayah dan agar termasuk dalam orang-orang yang bahagia di akhirat (penghuni surga); menginginkan kebaikan untuk mereka dalam semua urusan mereka, baik urusan agama (dengan mendakwahi mereka) dan urusan dunia mereka (dengan tidak mendzalimi mereka); menjaga mereka ketika mereka tidak ada, ketika ada orang yang ingin menyakiti mereka (misalnya, dengan memfitnah mereka), menjaga harta, keluarga, kehormatan mereka dan semua hak-hak mereka; membantu mereka ketika mereka berupaya untuk mencegah kedzaliman dari dirinya; membantu mereka agar mendapatkan hak-hak mereka. Ringkasnya, semua bentuk kebaikan yang selayaknya dilakukan oleh orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi (atasan) kepada bawahannya (misalnya, seorang bos kepada bawahannya), atau seorang musuh kepada musuhnya, maka hal itu termasuk akhlak yang luhur (kepada orang kafir).” (Al-Furuuq, no. 119)

Secara umum, boleh bagi kita bersikap lemah lembut kepada orang kafir, baik dengan perkataan ataupun dengan perbuatan, selama hal itu tidak merendahkan kedudukan si muslim tersebut, dan juga ketika terdapat maslahat syar’i dari perbuatan tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (sahabat akrab, pemimpin, penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah. Kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).” (QS. Ali ‘Imran [3]: 28)

Yang dimaksud dengan “taqiyyah” (siasat memelihara diri) adalah menampakkan sikap lemah lembut kepada mereka, meskipun dalam hati kita tetap membenci dan memusuhi mereka karena agama.

Ke lima, dianjurkan untuk memuliakan mereka ketika mereka bertamu ke rumah kita. Sebagaimana diperbolehkan bagi muslim untuk bertamu ke rumah mereka jika ada keperluan.

Ke enam, diperbolehkan untuk makan bersama mereka dalam kasus-kasus tertentu (yang bersifat kasuistik), selama tidak menjadikan mereka sebagai sahabat dekat atau teman makan sehingga selalu dan terbiasa makan bersama mereka.

Oleh karena itu, boleh makan bersama mereka ketika dalam undangan walimah yang bersifat umum; atau karena orang kafir tersebut bertamu ke rumah kita; atau karena kita bertamu ke rumah mereka; atau makan bersama pembantunya yang non-muslim; selama tidak bermaksud untuk mencari-cari kecintaan mereka kepada kita, dan bukan karena kita merasa nyaman dekat-dekat dengan mereka.

Baca Juga: Cara Memilih Teman Pergaulan saat Kuliah

Jika makan bersama mereka itu motivasinya adalah karena ingin mencari rasa cinta mereka kepada kita (misalnya, agar kita bisa masuk ke dalam pergaulan di tengah-tengah mereka), tanpa ada maslahat syar’i yang ingin diwujudkan (misalnya, mendakwahi mereka), atau karena kita merasa lebih nyaman ketika dekat dan bersama mereka, maka hal ini tidak diperbolehkan (baca: haram), bahkan di antara ulama ada yang menegaskan sebagai dosa besar (Lihat Az-Zawaajir ‘an Iqtiraafil Kabaair no. 441, karya Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تُصَاحِبْ إِلَّا مُؤْمِنًا، وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ

“Janganlah kalian bersahabat kecuali dengan orang beriman, dan janganlah makan makananmu kecuali orang-orang yang bertakwa.” (HR. Abu Dawud no. 4832, At-Tirmidzi no. 2395 dan Ahmad no. 11337, hadits hasan)

Hadits di atas melarang kita untuk makan bersama orang non-muslim jika motivasinya karena motivasi-motivasi terlarang di atas. Adapun jika memberi makan mereka karena belas kasihan, misalnya karena mereka kelaparan, atau baru tertimpa bencana dan musibah, maka diperbolehkan atau bahkan dianjurkan. Sebagaimana pujian Allah Ta’ala kepada orang-orang yang memberi makan orang kafir yang ditawan,

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang (kafir) yang ditawan.” (QS. Al-Insan [76]: 8)

Baca Juga:

[Bersambung]

***

@Sint-Jobskade 718 NL, 7 Dzulhijjah 1439/ 18 Agustus 2018

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

 

Referensi:

Disarikan dari kitab Tahdziib Tashiil Al-‘Aqidah Al-Islamiyyah, karya Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Jibrin hafidzahullahu Ta’ala, cetakan Maktabah Makkah tahun 1425 H.

🔍 Hadist Tentang Persahabatan, Minum Membatalkan Wudhu, Zuhud Dalam Islam, Pengertian Judi Menurut Islam, Niat Dan Cara Tayamum


Artikel asli: https://muslim.or.id/43575-aqidah-al-wala-wal-bara-aqidah-asing-yang-dianggap-usang-bag-7.html